Meski tampak
lusuh, kitab itu tetap terawat. Beberapa bagian yang robek coba ditautkan
dengan sejenis perekat. Tiap-tiap lembarnya menebarkan wangi kapur barus yang
menjaganya dari kerusakan. Tersimpan dalam ruangan bersuhu 16°C, seperti juga
kisah di dalamnya, Hikayat Muhammad Hanafiah, nama kitab itu, memang tak lekang
oleh zaman.
Tak banyak
orang tahu bahwa hikayat berusia hampir empat ratus tahun ini menyimpan kisah
sedih keluarga Rasulullah saw: kisah pembunuhan Hasan karena racun dan Husain
di padang Karbala. Boleh jadi inilah catatan paling awal dalam bahasa melayu
tentang peristiwa berdarah tersebut. Liau Yock Fang dari Jurusan Pengajian
Melayu, Universitas Nasional Singapura, mencatat bahwa fragmen (sepanjang 60
halaman) hikayat ini sudah tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge,
sejak tahun 1604. Dalam salah satu bagian naskah yang dimiliki Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (PNRI), tertulis tahun tahun 1191 H atau bertepatan
dengan 1771 M sebagai waktu penyalinan naskah.
PNRI
memiliki sembilan naskah Hikayat Muhammad Hanafiah. Beberapa halaman dari tiga
naskah di antaranya telah lapuk dan hampir tidak dapat dibaca. Selebihnya
naskah dalam kondisi yang baik dan tulisan di dalamnya jelas terbaca. Kesembilan
bagian naskah ditulis di atas kertas Eropa dengan ukuran naskah rata antara 25
X 20 cm sampai 33 X 21 cm dan banyak baris sekitar 15 sampai 21 baris. Jumlah
halaman bervariasi dari 170-an halaman sampai ada yang berjumlah 600 halaman.
Semuanya ditulis dengan tulisan Arab Jawi dan dalam bahasa Melayu.
Sebagian
besar peneliti meyakini Hikayat Muhammad Hanafiah berasal dari sumber Arab.
Tapi, Filolog tenar asal Belanda, Van Ronkel punya cerita lain. Setelah
menyelediki fragmen Cambridge, Ronkel berpendapat bahwa hikayat ini merupakan
terjemahan dari bahasa Persia. Alasannya, pujian yang melimpah kepada kedua
putra Ali, Hasan, dan Husain, pemakaian gelar pengembara untuk Nabi saw yang
dalam bahasa Persia adalah nabi, dan kesesuaian isinya dengan dua naskah versia
Persia yang tersimpan di British Museum. L.F. Brakel yang pernah menyunting
Hikayat Muhammad Hanafiah untuk memperoleh gelar doktor kesusasteraannya dari
Universitas Leiden mengukuhkan pendapat Van Ronkel dengan beberapa bukti baru.
Pertama, bahwa
pembagian bab dalam naskah Melayu sama dengan naskah Persia. Kedua, dalam
bahasa Persia, hubungan kekerabatan dalam bahasa Arab pada nama Muhammad bin
Hanafiah, dinyatakan oleh apa yang dinamakan ezafat:e ‘yang tidak dinyatakan’
sehingga menjadi Muhammad Hanafiah. Karena mengabaikan ezafat:e tadi, penyalin
Melayu telah salah menuliskan nama tersebut, yakni Muhammad Hanafiah bukan
Muhammad bin Hanafiah. Ketiga, banyak nama orang yang ditulis dalam bentuk
Persia, seperti Ummi Kulsum dan Immi Salamah.
Meskipun
demikian, Brakel juga tidak memungkiri kemungkinan hikayat ini merujuk kepada
sebuah kitab sejarah dalam bahasa Arab, Maqtal al-Husain, karya Abu Mikhnaf.
Karya Abu Mikhnaf ini merupakan catatan paling awal karena sebagian besar
sejarahwan Muslim merujuknya ketika menulis tentang pembantaian keluarga Nabi
saw tersebut.
Tiap-tiap
naskah Hikayat Muhammad Hanafiah berkisah tentang hal yang berbeda meskipun
masih berkisar seputar terbunuhnya kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut.
Naskah pertama paling banyak mengisahkan tentang gugurnya anak-anak Ali,
seperti Hasan dan Husain di Karbala pada masa kekuasaan Yazid. Meskipun jelas,
beberapa bagian tampak sudah lapuk dan robek. Isi naskah pertama ini sudah
pernah ditransliterasi dan diberi penjelasan oleh seorang peneliti Belanda,
Prof. Pijnappel pada 1870. Sayangnya PNRI tidak memiliki hasil penelitian itu.
Naskah kedua
mengawali cerita dengan kisah nabi-nabi lama, mistik Nur Muhammad, kisah
Fatimah dari Siria, masa muda Nabi Muhammad, pernikahan Nabi saw, hingga zaman
Khalifah Ali. Naskah ketiga mengisahkan persahabatan Muhammad bin Hanafiah
dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam perang tetapi dengan keajaiban
lukanya sembuh. Yazid dapat mengalahkan musuh-musuhnya lalu kemenakannya
ditunjuk menjadi raja Damaskus dan kawin dengan cucu Abu Bakar. Akhirnya
Muhammad Hanafiah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya seorang diri.
Berbeda
dengan naskah-naskah yang lain, naskah keempat Hikayat Muhammad Hanafiah yang
dimiliki PNRI memiliki cerita yang sangat berbelit-belit. Selain itu, bahasanya
pun sukar dipahami. Naskah kelima merupakan bagian terpanjang, yakni mencapai
600 halaman. Tebalnya naskah ini, salah satunya, disebabkan oleh hurufnya yang
sangat besar. Satu hal lagi, selain naskah keenam, yang kelima ini merupakan
bagian yang memuat waktu penyalinan dengan lengkap, yaitu 11 Rabi’ul Awwal 1288
H.
Naskah yang
keenam yang bertanggal 6 Sya’ban 1281 H ini memuat kisah kematian Yazid pada
bab III, tetapi di dalamnya, tidak diceritakan kemenangan Muhammad bin Hanafiah
yang banyak dibicarakan dalam naskah-naskah lain. Naskah ketujuh merupakan
sebuah eksemplar yang baik meski sebagian rusak. Naskah ini mengisahkan tentang
perikehidupan Nabi saw secara panjang lebar.
Naskah
kedelapan dimulai dengan uraian tentang kewajiban-kewajiban bagi para pengikut
Nabi saw, sementara kelahiran Hasan dan Husain baru terdapat pada halaman 88.
Naskah terakhir memuat cerita peperangan antara Ali dengan Muawiyah, pembunuhan
Hasan dengan racun dan Husain di padang Karbala oleh Yazid. Kemudian
dilanjutkan dengan pembalasan dari Muhammad bin Hanafiah kepada Yazid. Yazid
dapat dikalahkan tetapi Muhammad bin Hanafiah malang juga nasibnya. Ia mati
bersama musuh-musuhnya dalam sebuah gua.
Dengan
kandungan yang sarat nilai, naskah-naskah Hikayat Muhammad Hanafiah jelas
sangat berharga untuk diteliti. Tetapi penelitian filologi yang menuntut
keahlian interdisiplin tampaknya kurang diminati para peneliti dan mahasiswa
kita. Justru peneliti asing yang banyak meneliti-meneliti naskah-naskah tersebut.
Ibarat peribahasa “kacang lupa akan kulitnya”, kita kerap memandang sebelah
mata terhadap warisan budaya nenek moyang. [irman abdurrahman]
Dan Muawiyah pun MenolakBeristri
Dari banyak
kisah yang dituturkan dalam Hikayat Muhammad Hanafiah, peristiwa Karbala,
termasuk cerita yang mengawali dan mengikutinya, paling banyak menyita halaman
dari hikayat ini.
Bagian kedua
ini biasa disebut dengan Hikayat Maqtal Husain. Berikut petikannya yang sengaja
ditransliterasi sesuai ragam bahasa aslinya.
Tatkala
Husain masih muda, ada malaikat yang kedua sayapnya tertunu, turun ke dunia.
Husain menyapu bahu malaikat itu dengan tangannya. Dengan takdir Allah, sayap
malaikat itu pun baik lalu ia kembali ke udara. Jibrail berkata bahwa malaikat
itu tidak akan turun ke bumi melainkan pada waktu Husain dibunuh oleh segala
munafik. Adapun semasa Hasan dan Husain masih kecil itu, Jibrail selalu turun
ke dunia bermain-main dengan mereka. Sekali peristiwa, sehari sebelum hari
raya, Jibrail membawa pakaian untuk Hasan dan Husain. Hasan memilih pakaian
hijau dan diramalkan akan mati kena racun; Husain memilih pakaian merah dan
diramalkan mati terbunuh di Padang Karbala. Muawiyah mendengar bahwa dari
keturunannya akan lahir pembunuh cucu Muhammad dan bersumpah tidak mau
beristeri. Pada suatu malam, ia pergi buang air dan beristinjak dengan batu.
Zakarnya disengat oleh kala. Ia tidak terderita sakitnya. Menurut tabib,
sakitnya hanya akan hilang jika ia berkawin. Maka berkawinlah ia dengan seorang
perempuan tua yang tidak boleh beranak lagi. Dengan takdir Allah, perempuan tua
itu melahirkan seorang anak yang diberi nama Yazid.
Setelah Ali
wafat, Muawiyah menjadi raja. Sekali peristiwa, Muawiyah mengirim seorang
utusan pergi meminang Zainab, anak Jafar Taiyar untuk menjadi isteri anaknya, yaitu
Yazid. Zainab menolak pinangan Yazid, tetapi menerima pinangan Amir Hasan.
Karena itu Yazid pun berdendam dalam hatinya, hendak membunuh Amir Hasan dan
Amir Husain, bila ia naik kerajaan. Sekali peristiwa, Yazid ingin berkawin
dengan isteri Abdullah Zubair yang sangat baik parasnya. Muawiyah berja menipu
Abdullah Zubair menceraikan isterinya. Isteri Abdullah Zubair tiada mau menjadi
isteri Yazid. Sebaiknya, isteri Abdullah Zubair itu berkawin dengan Amir
Husain. Yazid makin berdendam dalam hatinya, “Jika aku kerajaan, yang Hasan dan
Husain itu kubunuh juga, maka puas hatiku.”
Maka berapa
lamanya, Muawiyah pun matilah dan kerajaan pun jatuh ke tangan Yazid. Mulailah
Yazid melaksanakan niatnya untuk membunuh Amir Hasan dan Amir Husain. Ia
berhasil memujuk seorang hulubalang di Madinah (menurut suatu cerita, salah
seorang isteri Hasan sendiri) meracuni Hasan. Setelah Hasan wafat, pikirannya
tidak lain daripada membunuh Husain saja. Ia mengirim surat kepada Utbah,
seorang hulubalang di Madinah, dan memintanya membunuh Husain dengan
menjanjikan harta dan anugerah. Seorang hulubalang yang bernama Umar Saad
Malsum juga dikirim untuk membunuh Utbah. Biarpun begitu, Utbah masih tidak
berani membunuh Husain. Katanya jika Husain ada di dalam Madinah, mereka tidak dapat
mengalahkannya. Karena itu mereka meminta raja Kufah, Ubaidullah Ziyad namanya,
supaya menipu Husain ke Kufah. Husain menerima jemputan raja Kufah untuk pergi
ke Kufah. Ummi Salamah mengingatkan Husain tentang bahaya yang mengancamnya.
Pada malam itu Husain juga bermimpi berjumpa dengan segala nabi dan malaikat.
Nabi Muhammad memberitahu bahwa surga sudah berhias menantikan ketibaannya.
Sungguhpun begitu, Husain berangkat juga ke Kufah bersama-sama dengan
pengikutnya yang tidak banyak itu.
Hatta berapa
lamanya sampailah mereka ke suatu tempat. Unta dan kuda Husain merebahkan
dirinya, tiada mau berjalan lagi. Mereka lalu mendirikan kemah di situ. Adapun
segala kayu yang mereka tetak, berdarah balak. Baharulah mereka ketahui bahwa
tempat itu ialah Padang Karbala, tempat kematian Husain yang diramalkan Nabi
Muhammad dahulu. Hatta mereka pun kekurangan air, karena air sungai sudah
ditebat oleh tentera Yazid. Air yang di dalam kendi kulit juga sudah terbuang,
karena digorek tikus. Apa boleh buat. Terpaksalah mereka menahan dahaga yang
sangat. Maka mulai peperangan itu. Pengikut Husain, satu demi satu syahid.
Akhirnya anaknya sendiri, Kasim dan Ali Akbar, juga mati. Barulah ketika itu
Husain teringat meminta bantuan kepada saudaranya, Muhammad Hanafiah, yang menjadi
raja Buniara. Sesudah itu ia pun terjun ke dalam medan perang. Banyak musuh
dibunuhnya. Sekali peristiwa, ia berjaya menghampiri sungai. Biarpun begitu, ia
tidak meminum air itu, karena teringat kepada sahabat taulannya yang mati
syahid disebabkan dahaga itu. Maka Husain pun lemahlah lalu gugur ke bumi.
Betapa pun demikian, tiada seorang pun berani menghampirinya. Akhirnya Samir
Laain yang susunya seperti susu anjing lagi hitam itulah yang maju ke depan dan
memenggal leher Husain. Adapun Husain syahid itu pada sepuluh hari bulan
Muharam, harinya pun hari Jumaat. Tatkala Husain syahid itu, arasy dan kursi
gempar, bulan dan matahari pun redup, tujuh hari tujuh malam lamanya alam pun
kelam kabut.
Setelah
Husain syahid, maka segala isi rumah Rasul Allah terampaslah oleh tentera
Yazid. Akan tetapi, seorang pun tiada berani menghampiri Ummi Salamah. Seorang
lasykar yang merampas anak perempuan Ummi Salamah, dengan kudrat Allah, matanya
menjadi buta. Yazid berjanji akan memberi diat kematian Husain, jika Ummi Salamah
rela dengan dia. Ummi Salamah menolak. Yazid sangat marah. Apabila Fatimah,
anak perempuan Ummi Salamah, meminta air minum, yang diberikannya ialah kepala
Husain yang diceraikan dari badannya.